MYNEWSINDONESIA.COM-Misalnya, A adalah orang yang terlahir dari keluarga kaya, terkoneksi, punya paras rupawan, bisa sekolah hingga jenjang tertinggi, kemudian akhirnya mendapatkan karier terbaiknya. Hidupnya tidak pernah kesulitan, setidaknya secara finansial, dan bisa meraih apa pun yang dia inginkan.
Yang jadi keributan adalah apakah memiliki privilese bawaan lahir ini salah. Kalau pun salah, siapa yang harus dipersalahkan? Ada ungkapan lama yang menyatakan, “Kita tidak bisa memilih dilahirkan oleh siapa, tetapi kita bisa memilih ingin menjadi orang seperti apa.”
Bila memang seseorang terlahir sebagai manusia berprivilese tinggi, tentu itu bukan pilihannya. Namun, menjadi pertanyaan bila dia tidak memanfaatkan privilesenya untuk menjadi sesuatu yang membawa manfaat bagi orang lain.
Banyak memang kasus orang-orang yang sukses karena memang orang tuanya yang mewariskan kesuksesan tersebut. Misalnya saja, Elon Musk. Siapa yang tidak kenal dengan bapaknya perusahaan otomotif Tesla tersebut.
Elon lahir bukan dari keluarga sembarangan. Ayahnya, Errol Musk, adalah seorang ahli dalam bidang teknik yang memiliki perusahaan di Afrika Selatan. Sementara itu, ibunya, Maye Musk, datang dari keluarga berkelas dan telah menjadi model terkenal sejak usia 15 tahun.
Kedua orang tua Elon terdidik, sehingga ketika Elon kecil menunjukkan bakatnya, mereka tahu bagaimana mengarahkan anaknya itu. Elon sendiri juga pernah mengakui bahwa kecerdasan ayahnya di bidang teknologi menurun padanya.
Elon Musk mendapatkan pendidikan terbaik sejak kecil. Dia bahkan diterima Universitas Stanford untuk meraih gelar kedoktoran. Kecerdasannya memang diakui oleh dunia, tetapi Elon juga tidak bisa mengelakkan kemudahan yang dia dapatkan dari latar belakang keluarganya.
Di dalam negeri, kita juga punya contoh seperti ini. Sebut saja Axton Salim, keturunan keluarga pengusaha yang mendirikan Grup Salim.
Axton bersekolah di luar negeri dan berkuliah di jurusan Science Business Administration, Universitas Colorado, Amerika Serikat. Setelah selesai sekolah, dia magang di sebuah perusahaan Singapura yang bernama Credit Suisse.
Magangnya selesai, Axton kemudian diangkat sebagai marketing manager pada salah satu cabang Grup Salim. Posisi Axton di perusahaan pun terus menanjak, hingga sekarang menjabat sebagai direktur di PT Indofood Sukses Makmur Tbk.
Axton dan Elon punya kesamaan, meski pun mendapatkan kemudahan hidup, mereka tidak bermalas-malasan dan hanya menikmatinya saja. Mereka juga berjuang untuk meraih namanya sendiri dan bergerak memberi manfaat bagi orang banyak.
Elon tercatat setidaknya telah menyumbangkan 150 juta dolar AS untuk berbagai lembaga amal pada kuartir pertama 2021. Elon juga pernah mengeluarkan cuitan di Twitter, bahwa dia menerima masukan ide bagaimana dia bisa menggunakan hartanya untuk membantu orang lain.
Begitu pula dengan Axton. Dia sering ikut serta dalam aksi-aksi sosial untuk masyarakat Indonesia yang membutuhkan. Salah satunya adalah kegiatan pencegahan gizi buruk pada 2018 yang diikuti oleh Indofood. Kegiatan itu mendukung upaya pencegahan stunting dan peningkatan gizi untuk anak Indonesia.
Mereka berdua adalah contoh kecil bahwa anak-anak kelahiran privilese tidak sepenuhnya buruk. Cap negatif bahwa anak terlahir kaya akan menjadi manja adalah sebuah stereotipe. Sebenarnya yang harus dibicarakan bukan tentang mereka dilahirkan dari siapa, tetapi bagaimana mereka membentuk diri menjadi yang terbaik dan memberikan manfaat untuk orang lain. Mengutip kata inspiratif ibu Susi Pudjiastuti,”bermimpilah setinggi-tingginya. Yang harus dibayar adalah mewujudkan mimpi itu. Cara bayarnya dengan kerja keras, semangat dan komitmen”.
Maka, obrolan produktif yang seharusnya diarahkan untuk membicarakan privilese adalah bagaimana masing-masing dari kita berkaca lagi untuk membawa kemudahan yang kita punya dalam hidup menjadi kemudahan bagi orang lain. Selesaikan budaya menunjuk orang, dan bersama-sama membangun solidaritas saling mengangkat kehidupan satu sama lain. (Penulis: Dhani Linuwih – Anggota Perempuan Indonesia Satu)