Jakarta, Mynewsindonesia.com-Fraksi Partai Keadilan Sejahtera secara tegas menolak pengesahan RUU Cipta Lapangan Kerja. Tak sendiri, langkah PKS ini juga diikuti oleh Fraksi Partai Demokrat yang juga menolak RUU Cipta Lapangan Kerja.
Hal tersebut disampaikan oleh Mardani Ali Sera dalam akun Twitternya, “Bismillah, @FPKSDPRRI menyatakan menolak RUU Cipta Kerja untuk ditetapkan sebagai UU. UU yang dilahirkan dalam kondisi saat ini seharusnya bisa berdampak pada upaya pemulihan nasional, baik kesehatan masyarakat, maupun perekonomian nasional akibat pandemi Covid-19,” ujar Mardani Ali Sera dalam akun twitternya @MardaniAliSera.
Mardani Ali Sera menyatakan bahwa proses pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja ini juga kesannya dipaksakan ditengah kesulitan negara menangani wabah pandemi Covid-19.
Selain itu, pembahasan selama pandemi membuat terbatasnya partisipasi masyarakat dalam memberi masukan, koreksi, maupun penyempurnaan RUU Cipta Lapangan Kerja itu.
Ia menegaskan bahwa RUU Ciptaker ini memuat pasal kontraversial yang berpotensi merugikan pekerja dan menguntungkan pengusaha.
“Ada beberapa alasan mengapa RUU Cipaker ini layak ditolak. RUU ini memuat substansi pengaturan yg merugikan pekerja Indonesia melalui perubahan beberapa ketentuan yang lebih menguntungkan pengusaha,” kata Mardani.
Alasan lainnya, tutur Politisi PKS Dapil Jakarta Timur substansi dalam RUU Cipta Kerja lebih berorientasi kepada fasilitasi pelaku usaha besar dan penanaman modal asing daripada pemberian dukungan dan konsep kebijakan yang komprehensif bagi pengembangan dan pemberdayaan Usaha, Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) maupun koperasi.
“Kemudian aturan yang tertuang dalam RUU Cipta Kerja berpotensi menimbulkan kerusakan terhadap kelestarian lingkungan hidup. Dalam pasal 37 terkait perubahan UU Kehutanan, ketentuan penyediaan luas minimum 30 persen untuk fungsi kawasan hutan dari daerah aliran sungai dihapus,” ungkap Mardani.
Ia juga menegaskan bahwa RUU Cipta Kerja tidak memerhatikan isu lingkungan di tanah air, malah berpotensi menimbulkan kerusakan.
Dalam pasal 37 terkait perubahan UU Kehutanan, ketentuan penyediaan luas minimum 30 persen untuk fungsi kawasan hutan dari daerah aliran sungai dihapus.
“Bahkan kewajiban membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup jg dihapuskan bagi pemegang izin usaha perkebunan,” kata dia.
“Padahal sudah berapa banyak contoh kerusakan lingkungan dan berujung timbulnya bencana alam karena tidak mengindahkan hal tersebut,” tuturnya.
Terakhir, ia menegaskan, jika pemerintah ingin mempermudah perizinan seperti yang kerap disampaikan, seharusnya sistem pengenaan sanksinya harus lebih ketat dengan mengembangkan sistem penegakan hukum yang tegas.